BADAN Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan “Rokok dan Ancaman Pembangunan”, sebagai tema pada Hari Tanpa Tembakau Se-Dunia, World No Tobacco Day, 31 Mei 2017. Tema tersebut dinilai relevan untuk Indonesia, baik secara sosial, ekonomi, bahkan budaya. Dalam bahasa yang lebih gamblang, konsumsi rokok menjadi ancaman serius bagi Presiden Jokowi untuk mewujudkan Nawa Cita.
Menurut World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia dan studi lainnya, terdapat sekitar satu miliar perokok di dunia atau sekitar sepertujuh dari populasi global. Setiap menit, hampir 11 juta batang rokok diisap di dunia dan 10 orang meninggal karenanya. Selama abad ke-20, tembakau merenggut 100 juta jiwa lebih dari 60-80 juta kematian selama perang dunia II dan 18 juta dalam perang dunia I bila digabungkan.
Saat ini, tembakau dapat menyebabkan lebih dari satu miliar angka kematian pada abad ke-21, demikian ditegaskan WHO. Saat ini, jumlah perokok di Indonesia menempati rating ketiga terbesar di dunia, setelah China dan India.
Di Cina, dari penduduknya 1,3 miliar, sekitar 315 jutanya adalah perokok dan mereka mengonsumsi lebih dari sepertiga dari rokok dunia, menurut data yang dikeluarkan oleh WHO.
Perokok di Indonesia mencapai 35 persen dari total populasi, atau sekitar 75 juta jiwa. Belum lagi pertumbuhan prevalensi perokok pada anak-anak dan remaja yang tercepat di dunia, 19,4 persen. Bahkan menurut data Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN, sebanyak 30 persen anak-anak di Indonesia yang berusia dibawah 10 tahun adalah perokok atau sekitar 20 juta anak.
Namun jika dilihat dari prosentase penduduk, Indonesia menempati prosentase penduduk sebagai perokok terbesar di dunia. Sekitar 80 persen perokok dunia hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah dan 226 juta di antaranya dianggap miskin.
Dengan konfigurasi perokok yang demikian tersebut, konsumsi rokok telah mengakibatkan dampak sosial ekonomi yang sangat signifikan dan masif.
Contoh, pertama, rokok menyebabkan kemiskinan akut di rumah tangga miskin. Data BPS setiap tahun menunjukkan, bahwa alokasi anggaran rumah tangga miskin nomor dua adalah untuk membeli rokok, yakni 12,4 persen. Artinya, uang dan pendapatan mereka dihabiskan untuk membeli rokok. Jauh di atas alokasi untuk kebutuhan lauk-pauk, dan pendidikan. Biaya konsumsi rokok sebesar 4,4 kali lipat dari biaya pendidikan; dan 3,3 kali lipat dari biaya kesehatan.
Kedua, rokok juga memicu inflasi yang paling tinggi, baik di ranah perkotaan dan atau perdesaan. Masih menurut data BPS, dampak inflasi konsumsi rokok di perdesaan dan perkotaan mencapai 10,7 persen per bulannya. Bandingkan dengan dampak inflasi akibat pencabutan subsidi listrik untuk golongan 900 VA yang hanya 2,86 persen. Jadi dampak inflasi rokok jauh memiskinkan masyarakat daripada dampak inflasi karena pencabutan subsidi listrik.
Ketiga, tingginya konsumsi rokok menjadi penyebab utama penyakit tidak menular yang berakibat pada fatalitas.
Saat ini, dari 10 jenis penyakit utama yang menyebabkan kematian, 8 diantaranya adalah akibat penyakit tidak menular. Konsumsi rokok menjadi penyebab utama dari delapan jenis penyakit tersebut. Maka tidak heran jika saat ini, 70 persen klaim kesehatan BPJS juga didominasi oleh 8 (delapan) jenis penyakit dimaksud. Ironisnya yang menjadi korban mayoritas adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, tiada jalan lain bagi pemerintah, jika ingin mencapai target pembangunan di Indonesia, sebagaimana visi misi Nawa Cita, seperti mewujudkan sumber daya manusia yang sehat, cerdas dan berdaya saing tinggi, maka konsumsi rokok harus dikendalikan dan dibatasi dengan sangat ketat.
Berbagai upaya juga telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi bahaya merokok agar masyarakat tidak merokok atau mengurangi rokok.
Upaya tersebut antara lain seperti Instruksi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 091/C/I/Inst/1978, tentang larangan bagi pelajar membawa rokok.
Selanjutnya ada juga Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.4/U/1997 tentang lingkungan sekolah bebas asap rokok. Institusi pemerintah seperti Departemen Perhubungan juga melakukan hal yang sama yaitu dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Perhubungan No. HK 402/2/4 PHB-91, yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Laut dan Direktur Perhubungan Udara, para direksi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) di lingkungan Departemen Perhubungan yang isinya larangan merokok atau mengurangi merokok dan memasang iklan rokok pada tempat-tempat pelayanan umum, seperti tempat penjualan karcis, ruang tunggu penumpang dan sarana angkutan umum.
Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 440 / 3529 / SJ / 1990, tentang penerapan bebas rokok di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Menteri Kesehatan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap masalah kesehatan di Indonesia juga mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan No. 161/ MenKes/Inst/III/1990, tentang lingkungan kerja bebas asap rokok. Dilanjutkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No. 459/MenKes/Inst/VI/1999, tentang kawasan bebas rokok pada sarana kesehatan.
Kemudian Menteri Kesehatan kembali mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan No. 84/MenKes/Inst/II/2002, tentang kawasan tanpa rokok di tempat kerja dan sarana kesehatan. Instruksi ini dikeluarkan sebagai penekanan ulang dari Instruksi Menteri Kesehatan sebelumnya seperti Instruksi Menteri Kesehatan No. 161/MenKes/Inst/III/1990.
Pemerintah Republik Indonesia juga membuat peraturan yang berkaitan dengan rokok dan kesehatan, yaitu Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 1999, tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Kemudian dilakukan revisi dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2000.
Ditahun 2003, Pemerintah Republik Indonesia kembali melakukan revisi peraturan tentang pengamanan rokok bagi kesehatan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003. Selain itu berbagai organisasi nonpemerintah juga turut berpartisipasi dalam menanggulangi masalah rokok, seperti Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), Yayasan Jantung Indonesia, dan Yayasan Kanker Indonesia (YKI).
Larangan ini tidak hanya dikeluarkan oleh pemerintah pusat, bahkan di tingkat pemerintahan daerah juga menegaskan larangan merokok ini dengan peraturan daerahnya, seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah kota Banda Aceh dengan dikeluarkannya Peraturan Wali Kota Banda Aceh Nomor 47 Tahun 2011 tentang “Kawasan Tanpa Rokok” serta Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2016 yang juga membahas tentang “Kawasan Tanpa Rokok”.
Secara pribadi penulis sangat senang dengan telah dikeluarkannya peraturan atau qanun yang mengatur tentang kawasan tanpa rokok ini. Pemko Banda Aceh telah berperan aktif dalam mendukung program kerja pemerintah secara nasional serta secara tidak langsung juga telah berperan dalam meningkatkan derajat hidup masyarakat khususnya masyarakat Kota Banda Aceh yang berada dalam kawasan lindungannya bahkan sejak tahun 2011 yang lalu hingga dengan sekarang.
Secara tegas dalam peraturan atau qanun tersebut menyebutkan beberapa tempat/lokasi diberlakukannya kawasan tanpa rokok ini.
Tidak hanya itu, didalam peraturan atau qanun juga diatur mengenai sanksi atau ganjaran yang harus di terima oleh pelaku baik itu sebagai pengguna/pemakai, penjual ataupun produsen sendiri dengan ganjaran atau sanksi yang berbeda-beda sesuai dengan perannya masing-masing.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, dengan diberlakukannya peraturan atau qanun tersebut, masyarakat khususnya kaum perokok telah sedikit memahami dengan peraturan ini. Misalkan saja di kawasan rumah sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang juga merupakan tempat kerja penulis, banyak para perokok yang mencari lokasi-lokasi diluar pagar rumah sakit untuk melampiaskan nafsu merokoknya, tetapi saya juga merasa sedih karena masih banyak lokasi-lokasi lain yang notabanenya sebagai kawasan tanpa rokok, para perokok tidak pernah menghiraukan instruksi ataupun aturan yang telah tertulis ini. Misalkan saja kita lihat di arena permainan anak-anak, tempat ibadah ataupun halte atau angkutan umum, kiri kanan kita masih melihat ramainya perokok yang melakukan aktifitas isap buangnya tanpa menghiraukan keselamatan kesehatan orang disekitarnya.
Pertanyaannya adalah kenapa peraturan atau qanun yang dibuat dengan sempurna ini belum mampu memberikan efek jera atau sanksi tegas kepada para pelakunya, bahkan sejak dari dikeluarkannya peraturan ini pada tahun 2011 hingga dengan sekarang masih banyak para perokok yang melanggarnya.
Jawaban atas pertanyaan besar ini harus kita kembalikan lagi kepada pemerintah kota Banda Aceh selaku penerbit serta yang memilki kuasa atas segala isi yang terkandung didalamnya.
Penulis melihat disini bahwa masih lemahnya evaluasi dan pengawasan dari aparatur pemerintah yang menyebabkan kebijakan ini tidak berjalan dengan sempurna. Kalau kita mau menghitung lamanya kebijakan ini berjalan, 7 tahun bukan lagi dikatagorikan sebagai usia muda, bahkan kalau menurut saya pribadi 7 tahun itu sudah mampu memberikan hasil kearah yang lebih positif atau mengalami keberhasilan yang sangat signifikan.
Terlepas dari itu semua, pemerintah kota telah bekerja keras dalam rangka memberantas polusi rokok hingga terlahirnya kebijakan ini, masalah pelaksanaannya yang masih belum sempurna ini juga tidak terlepas dari peran kita selaku masyarakat bersama dengan pemerintah untuk terus melakukan sosialisasi serta dukungan yang tidak henti-hentinya demi terciptanya kota Banda Aceh yang bebas dari asap rokok.
Akhirnya secara pribadi penulis mengharapkan bahwa pemerintah kota Banda Aceh tidak hanya berhenti sampai pada kebijakan ini saja, selain terus melakukan upaya evalusi terhadap kebijakan yang telah ada, pemerintah kota Banda Aceh juga diharapkan mampu melahirkan kebijakan-kebijakan baru khususnya mengatasi masalah rokok ini.
Umpamanya kebijakan tentang menaikkan biaya cukai serta pajak produksi yang tinggi sehingga secara tidak langsung akan menaikkan harga jual rokok kepada konsumen, efek yang diharapkan adalah dimana konsumen akan berfikir dua kali untuk membeli sebungkus rokok. Ini merupakan kebijakan pemerintah yang secara nasional belum pernah dikeluarkan dan belum pernah kita baca. Minimal sekali pemerintah kota Banda Aceh melarang semua bentuk iklan rokok di seluruh sudut kota Banda Aceh, tidak hanya dikawasan-kawasan tertentu saja sebagaimana yang telah disebutkan dalam qanun KTR.
Pemerintah kota Banda Aceh mungkin bisa menjadi role model dan penggerak pertama untuk melahirkan kebijakan ini, secara tidak langsung atas keistimewaan Aceh yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui UUPA, maka pemerintah kota Banda Aceh dapat menjadikannya sebagai landasan terciptanya kebijakan baru ini.
Tak luput pula kita mengharapakan pemerintah kota Banda Aceh untuk mengikut sertakan peran ulama dalam terus mensosialiasikan bahaya merokok baik dalam bentuk fatwa ulama ataupun dalam bentuk lainnya demi terwujudnya kota Banda Aceh sebagai kota yang bersih dan bebas dari asap rokok sebagai mana slogan yang kita gemakan bersama Banda Aceh sebagai kota madani. []
Penulis: Ns Desy Rahmat Skep dan Ns Mairoel Skep | *(Mahasiswa Magister Ilmu Management Keperawatan Fakultas Keperawatan Unsyiah)