Anak anak Aysha, Sham dan Bisam |
Aku melapisi dengan erat akta kelahiran dan ijazah, dan mengemasi tas berisi obat-obatan, plester dan pakaian ganti untuk anak-anak. Aku seorang Muslim, tapi biasanya tidak memakai jilbab, jadi aku menyamarkan diri dalam sebuah niqab yang menutupi rambut dan tubuh agar tidak menarik perhatian, kemudian membungkus paspor dengan menempelkan plastik dan mengikatnya di perut.
Dan di suatu pagi bulan September, aku menangis dan mengucapkan perpisahan kepada suami lalu keluar dari kota. Bersama-sama, kami berjalan dan terus berjalan. Aku menggendong Bisan, dan Sham terus melangkah di samping. Jika Sham lelah dan merengek, aku akan memberitahunya bahwa bayi di perutku juga sudah lelah, dan karena itulah aku tidak bisa menggendongnya. Pada malam hari, kami membayar penyelundup untuk membawa kami melewati perbatasan negara Turki. Kami menghabiskan empat jam tersembunyi di belakang mobilnya saat kami melewati pos pemeriksaan, sebelum naik bus 14 jam ke Izmir, sebuah kota di tepi pantai. Pada pukul 2 pagi, kami menemukan sebuah hotel, dan menghabiskan tiga hari bersembunyi di sana. Kami tidak pergi kemana-mana. Tidak ada yang sepadan dengan risiko tertangkap dan dikirim kembali ke Suriah.
Akhirnya,penyelundup lain datang mengatakan akan membawa kami bertiga ke Eropa dengan biaya 1.500 poundsterling (Rp. 26 juta). Dia menempatkan kami di belakang sebuah van dengan sekitar 30 orang lainnya, dan tidak ada yang tahu tujuan kami. Lalu dia berteriak pada kami untuk keluar, dan menyuruh kami berjalan berjam-jam melewati hutan.Panasnya sinar matahari menerpa wajah. Aku hanya punya satu botol air, dan aku sangat ketakutan jika sampai habis, aku hanya menggunakannya untuk membasahi mulut Sham dan Bisan setiap kali mereka menangis.
Ketika malam tiba, penyelundup membawa kami ke kapal. Tempat duduk dalam kapal bergoyang-goyang naik turun seperti akan jatuh dan melemparkan kami semua dan aku merasa mual saat aku membawa Sham dan Bisan ke atas kapal. Lebih dari 50 penumpang dijejalkan,semuanya basah, dan aku bahkan tidak bisa menggerakkan lengan atau kaki. Jaket pelampung menawarkan sedikit kepastian. Ketika kami tiba di pantai utara Lesvos di Yunani, aku sudah tidak mampu berbicara. Aku mendekap anak- anak sambil menangis terisak.
Melintasi Eropa
Saat itu malam hari, kami tiba di Kara Tepe, penampungan pengungsi di selatan Yunani. Kami tidak diizinkan naik taksi atau menginap di hotel. Dengan menggunakan cahaya dari telepon, kami melewati kegelapan menuju tenda. Kami meletakkan kotak kardus sebagai tempat tidur. Baju kami masih basah tapi kami tidak mempunyai baju ganti. Sham dan Bisan tidur, tapi aku berbaring di sana berjam-jam, menggigil dan ketakutan.
Pagi harinya semua terlihat sedang sibuk. Dua ribu orang baru saja tiba semalam. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara, aku duduk di tenda, menunggu barang-barang supaya kering. Pengeras suara mengumumkan supaya kami membentuk antrian untuk mendaftar, dan terlihat polisi anti huru hara diterjunkan. Aku meminjam pakaian untuk Sham dari keluarga tetangga dan membawanya ke toilet, tapi seorang pria melewati dan menyenggolnya hingga jatuh ke lumpur yang kotor dan bau. Spontan, air mata memenuhi mataku dan Sham mengenggam tanganku. “Jangan menangis mama,” ucapnya. Dadaku terasa sesak, aku pun menangis.
Setelah mendaftar ke kapal kami memesan tiket untuk menuju Kavala. Selama sembilan jam di atas kapal,orang-orang Yunani menatapku dan bergumam pelan. Bisan dan Sham tidur. Masih tersisa jarak 1.500 kilometer berikutnya dan waktu berjalan lambat. Kami menaiki kereta setelah itu berganti dengan bus dan lanjut kereta lagi. Kami pun melalui berbagai kota, Thessaloniki,Idomeni, Gevgelija, Slanishte, Preševo, Belgrade, Kanjiža, Horgoš, Röszke, Hegyeshalom dan kemudian menuju Nickelsdorf. Selangkah demi selangkah.
Yazan, seorang anak laki-laki berusia 19 tahun dari Damaskus, melihatku berjuang sendiri dengan anak-anak lalu dia menaikkan Sham di pundaknya sementara aku membawa Bisan. Sesampainya di Serbia, terlihat mafia ada dimana-mana, mencoba menghasilkan uang dari kami. Mereka menyewakan bus palsu dan meminta biaya dua kali lipat. Di Hungaria, kami beruntung karena perbatasannya tidak ditutup. Pada saat tiba di Wina, aku menyadari hampir tidak tidur selama tiga hari. Punggungku terasa letih dan nyeri, seluruh badan kumuh karena keringat dan debu. Kami antri selama enam jam untuk membeli tiket ke Munich. Bisan menangis sementara Sham duduk diam bersama Yazan.
Malam itu, aku menemukan sebuah apartemen. Segera kukirim kabar kepada Suami lewat WhatsApp. Aku teringat bahwa aku membawa botol kecil krim cukur yang dipakai suamiku, lalu mendekatkannya ke hidung hingga tertidur. Keesokan harinya, kami naik kereta. Aku melihat ke luar jendela,ke ladang yang menghijau. Ketika tiba di kota Salzburg kereta pun berhenti, dan polisi meneriaki kami untuk turun. Polisi hanya membolehkan lewat orang-orang yang berasal dari wilayah Uni Eropa.
Akhir dari Perjalanan
Namun, Alhamdulillah tak lama kemudian, datang seorang sopir taksi berkebangsaan Arab yang mengasihani kami, dan memberitahu kami bagaimana melakukan perjalanan ke Jerman dengan berjalan kaki. Kami naik bus ke sebuah desa dekat perbatasan, lalu kami berjalan melewati pegunungan. Sebuah perjalanan mendebarkan yang pernah kulalui. Aku tidak mengira perjalanan melelahkan ini akan mencapai Jerman. Tapi saat aku berjalan melewati papan bertuliskan “Bundesrepublik Deutschland “, aku merasa hampir tidak berdaya lagi. BERSAMBUNG…