GANJA tak selalu identik dengan rokok yang dilinting, kemudian dihisap dan membumbungkan kepulan asap putih pekat. Di Aceh, dari generasi ke generasi, ganja dikenalkan sebagai salah satu rempah bercita rasa tinggi yang dipakai sebagai bumbu masakan.
Mukhtar,penjual rempah di Pasar Peunayong, Banda Aceh tersenyum saat ditanya soal ganja. Di Aceh, tanaman yang biasa disebut bakong itu lazim menjadi bumbu penikmat rasa. Tapi, Mukhtar tak berani menjualnya terang-terangan di lapaknya. “Bakong itu rempah-rempah, tapi kalau saya gelar di sini, ditangkap polisi,” kata Mukhtar.
Zulfaqa, warga Aceh Besar, selalu menyertakan bakong dalam masakan sehari-harinya. Baginya, ganja mempunyai efek yang menenangkan pikiran.“Sekaligus sebagai vitamin penambah selera makan,” katanya.
Dalam tiap perayaan pesta perkawinan di Aceh, kari lembu atau kambing menjadi menu wajib yang harus dihidangkan kepada tetamu. Dalam masakan itulah, ganja dan berbagai macam rempah lainnya dilarutkan. Selain itu, ganja juga dimasukkan dalam adonan mie aceh, dodol, hingga kopi.
“Saya selalu pakai bakong, bijinya,“ kata Hasan Basri koki masakan khas Aceh.
Sudah 33 tahun Hasan menjadi juru masak. Rempah ganja ia gunakan untuk melunakkan daging saat dimasak. Asap yang ditimbulkan bersama gelembung-gelembung dalam kari juga tambah harm.
Hasan menggoreng biji terlebih dahulu sebelum kemudian ditumbuk halus. Baru setelahnya, rempah yang serupa bubuk itu dimasukkan dalam kari. Namun ada juga yang memblender sekalian daun dan diaduk bersama bumbu masak. Kadang pula langsung dimasukkan sekalian dengan dahannya.
“Rasanya lebih gurih, dan dagingnya lebih empuk,” kata Hasan Basri. Ganja juga digunakan dalam masakan besaratau semacam kenduri di Aceh.
Reza Idria, aktivis kebudayaan di lembaga swadaya masyarakat Tikar Pandan Banda Aceh menjelaskan, di abad 19, ganja yang sebelumnya hanya digunakan sebagai tanaman bumbu masak menjadi berbeda setelah kontak dengan semangat kapitalisme Eropa.
Candunya tanaman ini menjadi suatu hal yang potensial untuk komoditi kapital yang kemudian diperdagangkan. Saat itu, Inggris membuka ladang ganja besar-besaran di India. Belanda dan Inggris kemudian mengangkut ganja dari Aceh ke Eropa.
“Orang Aceh juga mulai mengenal bagaimana menghisap asap ganja sejak saat itu,” kata Reza,antropolog dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry ini.
Sebelumnya, kata Reza, ia tidak mendapati adanya catatan, lukisan ataupun ukiran yang menunjukkan orang Aceh membakar dan menghisap asap ganja sebelum abad ke-19.
“Sebelum abad pencerahan, hanya catatan tentang tuak manis yang ada dalam deskripsi kunjungan Ibnu Batutah dan Marco Polo ke Aceh,” tambah mahasiswa Program Doktoral Hardvard University, Amerika Serikat ini.
Reza menjelaskan, budaya kenduri di Aceh tidak dilakukan setiap hari, sehingga ganja dalam konteks ini dianggap bukan bagian dari kecanduan. Ganja dimasukkan ke dalam bumbu harian masakan warung karena para penjual itu kini menjual makanan kenduri menjadi makanan harian dan berlomba meraih pelanggan. [Muhammad Hamzah]