NASA meluncurkan misi menyentuh matahari dengan Parker Solar Probe pada awal Agustus. Kredit: Johns Hopkins APL/Steve Gribben/NASA/Space via Tempo.co |
Jakarta | ToA – Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) baru-baru ini berhasil meluncurkan wahana Parker Solar Probe menuju matahari. Ini jelas sebuah proyek yang ambisius: melihat matahari lebih dekat lagi.
Inilah instrumen pertama yang bakal menyambangi sang mentari. Sebelumnya, sejak eksplorasi antariksa dimulai enam dekade lalu, manusia sudah mengirim berbagai wahana nirawak ke sejumlah planet dan obyek lain di tata surya. Bahkan wahana nirawak New Horizons sudah melewati Pluto dan mendekati ujung tata surya. Namun hingga saat ini matahari lebih banyak dipelajari dari bumi.
Sulit untuk mengirim wahana mendekati matahari karena tingginya hawa panas dan radiasi yang dilepaskan bintang itu. Teleskop Hubble, mengorbit 570 kilometer di atas bumi dan digunakan untuk memantau bintang-bintang jauh, dirancang untuk membelakangi matahari demi melindungi lensa dan instrumennya yang sensitif. Kelak, salah satu agenda besar perjalanan wahana Parker adalah memecahkan teka-teki, yakni kenapa bagian atmosfer matahari jauh lebih panas ketimbang permukaan bintang itu.
Selama ini para ahli masih dilanda penasaran ihwal korona yang muncul dari bagian fotosfer. Temperatur fotosfer, bagian permukaan matahari yang tampak dari bumi, mencapai 6.000 derajat Celsius. Sedangkan korona, selubung berwarna putih yang hanya tampak saat terjadi gerhana matahari, suhunya bisa jutaan derajat Celsius lebih panas daripada fotosfer.
“Mengapa korona bisa begitu panas adalah misteri tua yang sulit dipecahkan,” kata David H. Brooks, ilmuwan dari George Mason University. “Fenomena itu mirip seperti api yang melesat dari sebuah batu es.”
Hasil riset tim gabungan dari University College London, Inggris, serta George Mason University dan Naval Research University, Amerika Serikat, dalam jurnal Nature Communications menunjukkan aktivitas medan magnet mempengaruhi komposisi elemen, termasuk besi, di atmosfer matahari. Kondisi ini diduga berdampak besar pada pemanasan korona. [Tempo.co]