Foto: Zul/ToA |
Hari masih pagi saat Miftahul Jannah tiba di Aceh. Ia yang datang dengan rombongan kecil disambut bak pahlawan di lobi kedatangan Bandara Sultan Iskandar Muda. Istri Plt Gubernur Aceh dan beberapa pejabat SKPA menyambut ia dengan kalungan bunga.
Miftahul Jannah adalah pejudo paralimpik Indonesia. Ia menjadi bagian atlet yang semula akan bertanding di arena Asean Para Games 2018 di Jakarta. Namun kisah heroiknya baru-baru ini menghentak publik olahraga tanah air. Ia mencoba mendobrak aturan dengan tetap mempertahankan prinsip meski gagal menjadi juara. Masalahnya sederhana. Atlet asal Susoh Aceh Barat Daya itu, dilarang bertanding karena enggan melepas jilbab. Apa boleh buat, Miftah didiskualifikasi dari pertandingan.
“Walau pun tidak bertanding, Miftah sudah menang. Pertandingan sebenarnya adalah melawan diri sendiri,” kata Istri Plt Gubernur, Dyah Erti Idawati, Senin pertengahan Oktober 2018.
Keputusan Miftah mempertahankan hijab, kata Dyah, telah membawa kabar baik bagi Aceh yang menerapkan syariat Islam. Di usia belia, Miftah telah menjadi duta yang menyampaikan keislamannya ke dunia internasional.
“InsyaAllah Miftah akan menerima hadiah yang jauh lebih inggi dari hadiah dunia,” kata Dyah.
Keputusan Miftah tersebut membuat Dyah jatuh hati. Ia mencoba menawarkan perhatian pada Miftah layaknya anak sendiri. Miftah didampingi hingga ke ruang tunggu. Ia ditawarkan sebungkus nasi guri.
“Saya masih kenyang,” Miftah menolak halus. “Nanti ngak kuat lho tenaganya. Ayo, ibu suapin kalau ngak mau makan sendiri.” Miftah tersipu. Dyah mencoba menggodanya. Ia kemudian menuangkan segelas air dari botol mineral. Miftah meminumnya.
Dyah menyebutkan, komite olahraga beladiri harus mengupayakan peraturan yang memperbolehkan atlet Muslim untuk tetap bisa mempertahankan keyakinan mereka dengan tetap bertanding tanpa harus menanggalkan hijab. Syariat Islam, kata Dyah mewajibkan semua muslimah menutup aurat meski dalam kondisi apa pun. Karena itu, keputusan Miftah mempertahankan hijabnya bukan hanya mewakili daerah Aceh semata melainkan seluruh umat Muslim dunia.
“Perjuangkan hingga ke tingkat internasional. Muslim di dunia ini sangat banyak jadi tidak mungkin tidak diakomodir hingga ke tingkat internasional,” kata Dyah meminta Dispora dan KONI mengupayakan melobi untuk mengubah regulasi itu. “Jangan ada lagi Miftah lain yang mengalami hal serupa.”
Dyah meminta Miftah tetap melanjutkan karirnya sebagai atlet judo sembari meneruskan pendidikan hingga sarjana. “Tidak usah rendah diri. Anandalah pemenang di hati kami.”
Berhijab Sejak Belia
Salimin masih ingat, sehari jelang bertanding, Miftah meminta dirinya berdoa, “besok tanding, tapi kayaknya ngak boleh pakai jilbab.” Ia yang baru tiba dari Aceh membesarkan hati Miftah. Malamnya pun Miftah juga menghungi Ibudanya, Darwiyah, di Susoh Abdya. Salimin menyerahkan sepenuh pada buah hatinya itu. Ia yakin, Miftah yang sudah dewasa bisa mengambil keputusan terbaik dan bijak.
“Saya sangat yakin dia tidak akan buka jilbab. Dia punya prinsip, sejak usia TK ia sudah pakai jilbab,” kata Salimin. Terbukti, esoknya Miftah lebih memilih keluar dari dari arena daripada harus bertanding tanpa jilbab.
Jauh sebelum terlibat sebagai atlet paralimpik Indonesia, Miftah sudah terlebih dahulu meminta izin ayahnya untuk berlatih beladiri. Sebelum judo, Miftah muda berlatih Taekwondo. Salimin mendukung sepenuhnya jenis olahraga pilihan Miftah.
“Dia (hidup) di rantau dan harus bisa mempertahankan diri. Jadi ketika ia minta latihan beladiri saya sangat setuju,” kata Salimin. Saat ini, Miftah adalah pemegang Sabuk Hitam Dan 1 Judo.
Sulton Arifsyah dari Koordinator Olahraga Mahasiswa (KOM) Universitas Pasundan, tempat Miftahul Jannah bernaung dalam olahraga beladiri, mengatakan keputusan Miftah atas dasar keyakinan pribadi tanpa paksaan. Bahkan ketika tim pelatih dan official meminta ia membuka hijab sementara, ia menolak. Pihak KOM yang mendampingi Miftah mulai dari Pelatda dan saat akan bertanding di Jakarta hingga kemudian mengantarkannya pulang ke Aceh memang sedih karena Miftah urung bertanding.
“10 tahun di persiapan Pelatda untuk ikut Asean Para Games. Kita sedih dia tak jadi bertanding, tapi kita salut dengan pilihan Miftah,” kata Sulton.
“Sampai ke titik itu kami di KOM bilang ke Miftah: we are the winner,” ujar Sulton.
Melinda Gustina pengurus KOM yang juga ikut datang ke Aceh, mengisahkan, Miftah bergabung di KOM sekira lebih setahun lalu. Saat itu ia bergabung di olahraga catur. Namun belakangan ia mulai beralih ke Judo yang mengantarkannya hingga ke Pelatnas Para Games Judo.
Sebelum berangkat ke Jakarta, kata Melinda, Miftah tak tahu jika nanti ia bakal dilarang bertanding dengan mengenakan jilbab. Hal tersebut membuat ia terus berlatih hingga 10 bulan lamanya di Solo, dengan pendampingan KOM. Baru kemudian, ia diberi tahu pelatih tentang peraturan itu. Namun ia kekeuh tak membuka jilbab, keputusan yang disayangkan oleh sebagian orang.
“Dia telanjur ikut pelatda dan berlatih hingga tangannya remuk” kata Melinda. Meski demikian organisasi KOM dan keluarga besar Universitas Pasundan bangga dengan keputusan Miftah. Pihak rektorat dilaporkan sedang membicarakan perihal pemberian beasiswa pada Miftah.
Darah atlet memang kudung mengalir di diri Miftah. Usai gagal bermain di arena Judo, ia akan mencoba peruntungan di olahraga lain, olahraga yang tak terikat dengan peraturan terkait boleh tidaknya memakai jilbab. Ia akan beralih (kembali) ke meja catur, olahraga yang ia tekuni saat bergabung di KOM. Di November nanti, Miftah akan membawa bendera Unpas di Pra Porda Jawa Barat.
Miftahhul Jannah menghabiskan masa belia di kampung halaman, Susoh Aceh Barat Daya. Menginjak usai remaja ia melanjutkan sekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa) di Jantho Aceh Besar. Terdidik mandiri sejak kecil, Miftah meminta izin orang tuanya melanjutkan sekolah ke pulau Jawa. Meski dengan berat hati, Salimin dan Darwiyah mengizinkan Miftah melanjutkan kuliah di Universitas Pasundan Jawa Barat.
Usai kasus pelarangan bermain –karena terbentur peraturan judo internasional–, ragam pujian dan penghargaan diberikan pada Miftah. Mulai dari hadiah berumrah hingga beasiswa berkepanjangan dari Pemerintah Aceh.
“Terima kasih atas apresiasi semua pihak pada perjuangan miftah selama ini,” kata Miftah. []