Aysha menenangkan Sham yang menangis |
Kisah nyata perjalanan mendebarkan seorang wanita hamil dari Suriah menembus jarak 2.400 KM menuju Jerman. __Written and Translated By Muhammad Ichsan (Based on A True Story Reported By Corinne Redfern/June 2017).
Namaku Aysha. Aku tidak suka menganggap diriku sebagai pengungsi. Aku tinggal di bagian Aleppo yang indah, menghabiskan waktu traveling ke penjuru negara Suriah dan bekerja sebagai insinyur sipil untuk pemerintah. Aku bertemu suami enam tahun yang lalu, ketika berusia 24 tahun. Dia adalah seorang dokter. Dia segera meminta untuk menikah denganku. Akhirnya aku merasa bahwa dialah seseorang yang akan menjadi belahan hatiku. Sejak saat itu, kami tidak dapat dipisahkan. Rumah kami merupakan bangunan klasik nan indah, dengan langit-langit tinggi, dinding putih dan lantai keramik. Kami menghabiskan hari-hari di tempat kerja dan malam harinya kami bersama teman-teman – makan di luar, mendengarkan musik. Sungguh sebuah kehidupan normal yang menyenangkan.
Pada awalnya, aku tidak takut ketika segala sesuatunya mulai berubah di Suriah. Aku tidak berpikir itu akan mempengaruhi kami. Namun setelah berbulan-bulan tentara pemberontak melawan Presiden Bashar al-Assad, bom mulai jatuh. Semua kelompok yang berbeda mulai saling menyerang, dan kemudian ISIS mulai mencoba untuk mengambil alih negara. Tidak ada air mengalir, tidak ada listrik. Aturan mulai diberlakukan di wilayah tertentu, melarang kami menyimpan foto di telepon kami, melarang menggunakan produk Amerika serta melarang untuk keluar rumah di malam hari. Jika kamu mengindahkan aturan tersebut, kamu akan “dilenyapkan”. Sejak itu, Kami tidak meninggalkan rumah di malam hari dan berhenti bertemu teman. Aku biasa terbangun karena mendengar bom, bertanya-tanya apakah kami bisa melewatinya sepanjang malam hidup-hidup.
Aku terus bekerja, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Selain perang, semua tidak ada yang berubah. Jika kamu menyusuri jalan,kamu tidak melihat siapa pun. Semua orang tidak terlihat, bersembunyi di kamar mereka, di balik dinding yang telah hancur berantakan.
Menjadi seorang Ibu
Ketika melahirkan anak perempuan pertama, namanya Sham, keluargaku bahkan tidak bisa menumui kami lebih dari setahun. Setahun kemudian, baru beberapa bulan hamil dengan anak kedua yang kuberi nama Bisan, saat mereka mulai mengebom jalan yang kami lalui. Dengan Sham di pelukanku, aku meraih tas dengan pasporku, dan berlari. Kami menyewa rumah lain di tempat lain, yang lebih dekat kota. Kemudian makanan mulai terasa sulit diperoleh dan kami terpaksa makan nasi kering setiap harinya.
Pada bulan April tahun ini, saat aku hamil untuk ketiga kalinya, aku memutuskan bahwa kami harus pergi. Pergi meninggalkan negara ini. Aku tidak berencana untuk memiliki anak lain – pada awalnya, aku bahkan berharap janin itu mati di dalam kandungan. Menurutku itu akan terasa lebih baik daripada tumbuh di negara yang penuh dengan ketakutan dan ancaman.
Sham dan Bisan berusia dua dan tiga tahun, tapi mereka tidak pernah bermain di luar. Mereka tidak bisa pergi ke playgroup – mereka mungkin tidak akan pernah bisa pergi ke sekolah dengan kondisi Negara seperti ini. Ketika memutuskan akan pergi, suami tidak bisa ikut dengan kami – sebagai dokter, dia merasa dibutuhkan disana. Selama lima bulan, kami berargumen setiap hari. Tapi pada akhirnya, dia membiarkan kami(saya, Sham dan Bisan) pergi. Hal terakhir yang dia katakan adalah bahwa saya harus menjaga diri dan anak-anak, karena kami adalah segala-galanya dalam hidupnya.
Selamat tinggal Suriah
Mungkin kamu akan berpikir bahwa kamu memerlukan koper besar untuk pindah ke sudut dunia lainnya, tapi bila sampai pada titik ini, yang kamu perlukan hanya dirimu sendiri. Jika memiliki cukup tabungan, ada orang-orang yang akan membawa kemana saja bahkan melintasi perbatasan. BERSAMBUNG…