Ilustrasi kekerasan terhadap anak/courtsy Detak.co |
BANDA ACEH | ToA – Angka perceraian di Aceh menunjukkan angka yang mencengangkan: lima ribu lebih pasangan bercerai sepanjang tahun 2017.
“Mahkamah Syariah menangani kasus perceraian mencapai 11 ribu lebih per tahun,” kata Rosmawardani, Wakil Ketua Mahkamah Syariah Provinsi Aceh, Selasa 13/03/2018.
Rosmawardani menyebutkan, angka itu lebih banyak dibandingkan dengan kasus yang terjadi di Sumatera Utara. Di mana, di provinsi tetangga yang berpenduduk 10 juta lebih itu, angka perceraian hanya mencapai angka 10 ribu orang. Padahal, Aceh hanya tercatat memiliki sekitar 4,5 penduduk.
“90 persennya adalah perempuan yang menggugat cerai suami,” kata Rosmawardani.
Sementara Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Aceh hanya mencatat 1.791 kasus kekerasan terjadi sepanjang tahun 2017. Nevi Aliani, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, menyebutkan, dinasnya mencatat angka kasus kekerasan terus meningkat. Di tahun 2015, mereka hanya menerima laporan sebanyak 939 kasus dan meningkat menjadi 1.648 kasus di 2016. Setahun berselang, angkanya melonjak menjadi 1.791 kasus.
Namun demikian, Nevi mengatakan, jika angka tersebut tidak bisa dijadikan rujukan atau satu-satunya indikator. Pasalnya, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bagaikan gunung es: di permukaan tampak datar, namun di bawah terlalu besar.
Senada dengan Nevi, Istri Gubernur Aceh, Darwati A. Gani, menyebutkan jika kasus yang menimpa perempuan dan anak terbanyaknya adalah kekerasan fisik dan seksual. Biasanya kejadian tersebut dilakukan oleh orang terdekat, sehingga membuat mereka enggan melaporkan kasus tersebut. “Ada perasaan tabu ketika membicarakan kasus di keluarga ke luar rumah,” kata Darwati.
Meski demikian, Darwati meminta agar penegak hukum memberikan hukuman yang maksimal, sehingga memberi efek jera pada pelaku, dan traumatik korban bisa berkurang. [ToA]