Pidie | ToA – Suara ledakan sahut menyahut terdengar di sepanjang bantaran sungai desa Pulo Baro, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Rabu malam (5/6/2019).
Namun, dentuman suara dahsyat menggelegar mirip suara bom itu tak membuat warga panik.
Sebaliknya, warga yang mayoritas kaum muda dan anak-anak justru berduyun-duyun memadati lokasi ledakan. Mereka ingin melihat langsung suara ledakan yang ternyata berasal dari meriam bambu dan karbit.
Sekedar informasi, umumnya di Kabupaten Pidie, menyulut meriam bambu dan karbit memang sudah menjadi tradisi yang digelar setiap malam kedua Idul Fitri. Tradisi menyulut ini dikenal “tet budee trieng”.
Tradisi yang digelar turun menurun ini sangat dinantikan warga. Hal ini dapat dilihat semakin membludaknya para pengunjung yang berdatangan ke bantaran sungai.
Pertunjungan yang menjadi ajang tahunan ini memang memikat, khususnya suara ledakan yang menggema hingga terdengar radius 10 km. Bahkan, saking kerasnya suara ledakan, sejumlah warga terpaksa mengungsikan orang lanjut usia dan bayi yang berdomisili dekat dengan lokasi pertunjukan.
Menariknya lagi, tradisi ini tidak hanya digeluti kaum adam, namun juga kaum hawa pun tak ketinggalan memanfaatkan momen ini. Kaum perempuan turut ikut membuatkan kue untuk para pembakar meriam bambu dan karbit tersebut. Selain itu, para pedagang juga memanfaatkan peluang ini untuk menjajakan aneka makanan cepat saji di lokasi.
“Kegiatan yang sudah menjadi tradisi atau ajang tahunan ini sudah sejak lama digeluti warga, tapi saya tidak ingat persis kapan pertama kali dimulai. Sebab dari sejak kecil saya sudah melihat adanya tradisi bakar meriam karbit ini,” ujar Nasrullah, warga Desa Blang Dhod, Kecamatan Tangse kepada TimesofAceh.
Sementara itu, salah satu warga lainnya, Mukhsin mengatakan, kegiatan teut beude karbit ini sempat saat konflik bersenjata melanda Aceh.
Pasca perjanjian damai, antusias warga yang ingin membakar meriam karbit semakin memuncak.Bahkan tak jarang ada warga ikut menyumbangkan dana demi menggelar tradisi tersebut.
“Umumnya para penyumbang itu berasal dari warga disini yang pulang merantau di kala lebaran. Bahkan dana yang terkumpul bisa mencapai Rp 20 juta lebih,” ujar Mukhsin.
Mukhsin menambahkan, tradisi ini dulunya dilaksankan pada malam pertama hari raya. Namun karena sekarang sudah digelar takbir keliling pada malam pertama, maka “Teut Budee” dan meriam karbit digeser ke malam kedua.
“Tapi tradisi ini tidak akan kami lakukan pada malam Jum’at, walaupun malam lebaran kedua itu jatuh di malam Jum’at. Tradisi ini rutin dimulai selesai salat Isya hingga menjelang Subuh,” ujar Mukhsin.
Perlu diketahui, meriam karbit ini bermaterikan drum minyak bekas. Beberapa drum disatukan sehingga menghasilkan sebuah meriam sepanjang 2 hingga 5 meter. Meriam ini kemudian diisi karbit dan diledakkan dengan cara dibakar. Hasilnya, suara ledakannya akan menggelegar hingga jarak 10 km.
Saat dibakar, meriam tersebut sengaja diletakkan berjejeran di sepanjang aliran sungai dengan posisi saling berhadapan.
Hasilnya, suara ini terkesan seperti sedang terjadi perang meriam dengan suara menyalak.
Berikut ini foto-foto suasana “toet budee trieng” dan meriam karbit di desa Pulo Baro, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie. []