Adi/Humas Aceh |
Banda Aceh | ToA – Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah menerima delegasi Moro Islamic Liberation Front (MILF), di Aceh, Senin (29/01/2017). Kedatangan para tokoh perjuangan kemerdekaan bangsa Moro tersebut dalam rangka belajar resolusi konflik di Aceh.
Wagub Nova mengatakan, Pemerintah Aceh sangat mendukung upaya dan usaha yang ditempuh bangsa Moro untuk merajut perdamaian dengan Pemerintah Filipina. Apa yang dilakukan mereka, ujar Nova, telah pernah dilalui juga oleh masyarakat dan para pejuang di Aceh.
“Kami sangat mendukung proses damai di Moro Filipina. Semoga dialog yang kita bangun ini menjadi langkah awal untuk menyebarkan semangat damai Aceh di wilayah Asean,” ujar Nova di Pendapa Wakil Gubernur Aceh.
Nova menyebutkan, perdamaian Aceh telah menjadi contoh dan mendapat apresiasi dunia internasional. Namun demikian, perdamaian tersebut tidaklah didapat dengan mudah. Perundingan damai antara GAM di Aceh dengan Pemerintahan Indonesia bahkan dilakukan hingga beberapa kali.
Perdamaian akhir yang dimediasi lembaga Crisis Management Initiative (CMI) di Helsinki telah menjadikan kehidupan masyarakat jauh lebih baik serta pertumbuhan ekonomi ikut meningkat.
Wagub mengatakan, damai di Aceh terjadi akibat beberapa hal. Pertama, ujarnya, adalah semangat dan tekad kuat dari pihak yang bersengketa untuk mengakhiri konflik. Mereka rela menurunkan ego masing-masing. Selanjutnya adalah keterlibatan mediator internasional yang sama-sama diakui oleh kedua pihak.
“Keterlibatan tim monitoring internasional yang memantau jalannya tahapan perdamaian selama lebih setahun, menjadikan perdamaian Aceh tidak terusik,” kata Nova.
Perdamaian Aceh ikut mendapat dukungan kuat dari dunia internasional. Pemerintah Indonesia juga memberikan perhatian lebih bagi pembangunan Aceh usai damai terjadi. Tak heran jika kemudian suksesnya perdamaian di Aceh menjadikan Aceh sebagai salah satu rujukan bagi berbagai daerah di negera yang berkonflik.
Sementara itu, Pimpinan Moro Islamic Liberation Front (MILF), El Haj Murad Ibrahim, mengatakan, Bangsa Moro yang berkonflik dengan pemerintahan resmi di Filipina, sebenarnya telah menjajaki perjanjian perdamaian jauh sebelum hal tersebut dilakukan di Aceh. Sejak tahun 1995, mereka telah berunding. Selama tiga tahun berturut, prosesi itu terus ditempuh.
“Tapi tidak pernah berhasil, bahkan kemudian terjadi darurat militer,” ujar Murad. Proses serupa hampir sama dengan apa yang terjadi di Aceh. Murad berharap bangsa Moro bisa segera berdamai lewat perjanjian komprehensif di tahun 2017 lalu.
“Kita berharap perjanjian terakhir berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang sama-sama kita inginkan,” kata Murad Ibrahim. [Rilis]