Ilustrasi. Lukisan seorang memainkan alat musik lute untuk seorang perempuan yang dibuat sekitar than 1600/ Foto GETTY IMAGES |
Berbagai lagu ciptaan John Dowland sangat terkenal di era Elizabeth. Lagu-lagu itu hingga kini terus menjadi pemantik tren musik melankolis khas Inggris.
Masuk ke tempat hiburan yang kotor, toko serba ada atau berkendara dengan taksi, Anda akan mendengarkan jenis musik, paduan nada bahkan lirik yang sama.
Ed Sheeran belakangan ini memang menjadi penyanyi yang karyanya paling banyak diputar. Album terakhirnya laku hampir satu juta keping, hanya di Inggris saja.
Lagu sentimental berjudul Castle On The Hill milik penyanyi berusia 26 tahun itu bahkan seperti menjadi lagu kebangsaan baru bagi masyarakat Inggris.
Namun, meskipun rambut merah dan lagu Sheeran yang mudah diingat itu menunjukkan antusiasme warga Inggris kekinian, dia bukanlah penyanyi pertama yang menarik perhatian publik negara tersebut.
Pada abad ke-16, komponis sekaligus pemain alat musik petik lute, John Dowland, meraup popularitas yang serupa dengan Sheeran. Musik Dowland tentang kesedihan dan kemuraman membuatnya terkenal.
Untuk sekelas musikus yang menginspirasi banyak pemusik lainnya, publik hanya mengetahui sekelumit kisah kehidupan Dowland. Ia lahir sekitar tahun 1563, kemungkinan besar di London.
Selama berkarir, Dowland kerap berpergian ke berbagai tempat. Ia pertama kali bekerja untuk Ratu Elizabeth I, sebelum akhirnya untuk Raja Denmark, Christian IV. Di negara itulah Dowland kemudian tersandung skandal akibat ‘perbuatan yang tidak mcenyenangkan’.
Dowland juga tidak diperkenankan berperkara di pengadilan Inggris. Dugaan yang beredar, nasib itu diterimanya karena memeluk agama Katolik.
Meski termasyhur atas beragam karya musiknya, Dowland meninggal dalam keadaan miskin, meratapi para ahli pemain lute yang menghinanya. Akhir kisah yang pedih itu pun diwarnai misteri hingga saat ini tentang rumor Dowland adalah mata-mata dan pengkhianat.
Kesedihan yang indah
Jika kehidupan Dowland terus menjadi teka-teki, melalui lagu-lagunya kita seperti bisa melihat sisi personalnya yang meletup-letup.
Judul-judul lagu Burst Forth My Tears, Rest A While You Cruel Cares sangat menggugah. Sementara itu, liriknya juga menyentuh setiap hati orang yang mendengarkannya.
“Jatuhkan air mataku, bantu aku melapangkan rasa duka cita ini, dan tunjukkan yang dapat ditimbulkan rasa cinta yang menyakitkan,” salah satu penggalan lirik milik Dowland.
Pada lagu lainnya, Dowland bertutur, “jatuh, jatuh, aku terjatuh dan aku tidak akan mampu bangkit.”
Dowland sepertinya terlihat senang memperlihatkan kesedihan itu. “Semboyan dirinya adalah semper Dowland, semper dolens. Artinya, selalu Dowland, dan selalu muram,” ujar Pierre Huard, seorang pemusik sekaligus peneliti, kepada BBC Culture.
Layaknya Leonard Cohen dan Tom Waits, dengan kata lain, profil John Dowland yang murung tak dapat dipisahkan dari karya musiknya.
Lagu-lagu Dowland bukan kepura-puraan belaka. Olga Hernandez Roldan, pengajar sejarah musik di Sekolah Tinggi Menyanyi di Madrid, menyebut pada abad ke-16, Inggris terobsesi pada nuansa melankolis, seperti masyarakat era kekinian yang ingin selalu terlihat trendi.
Ted Libbey, kritikus musik, sependapat dengan Roldan. “Melankolia adalah penanda dari pribadi yang dewasa,” tulis Libbey dalam artikel untuk NPR.
“Perasaan itu muncul dari orang dewasa yang mampu merasakan hal-hal secara mendalam,” ujarnya.
Gagasan Dowland tentang musik berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat pada abad ke-16. Seorang peneliti bahkan terpengaruh untuk menulis Risalah Melankolia, sedangkan Shakespeare menerbitkan kisah berjudul Hamletyang penuh cerita tentang kekhawatiran.
Sama seperti para musikus terbaik di era modern, Dowland tertarik pada isu melankolis. Apabila lagu Ed Sheeran berjudul Galway Girl memuaskan para remaja putus asa yang haus akan nostalgia, Dowland mengisi lagu-lagunya dengan gairah serupa, tapi yang relevan dengan zamannya.
Di satu sisi, musikalitas Dowland ternyata juga melampaui zamannya. Dia merupakan salah satu komponis yang mempopulerkan alat musik lute di Inggris dengan cara memperluas pasar musiknya.
Seperti piano pada beberapa abad sebelumnya, Hernandez Roldan menyebut penggunaan lute memungkinkan musik Dowland diproduksi dengan ongkos rendah sehingga dapat diperkenalkan ke kaum burjois.
“Lute memungkinkan publik memainkan sendiri musik itu di rumah-rumah mereka,” ujar Roldan.
Ketika karya Dowland semakin populer, satu buku lagunya dicetak empat kali selama akhir 1500-an dan awal 1600-an. Tak hanya memantik popularitas lute, Dowland juga mendorong kelahiran jenis musik baru.
Huard mengatakan, tidak seperti nyanyian tentang cinta buatan orang-orang Italia pada abad-abad sebelumnya, musik Dowland terdengar sederhana dengan permainan lute yang intim.
“Lagu-lagu ciptaan Dowland berdampak besar pada masyarakat dan mengembalikan bahasa Inggris sebagai bahasa masyarakat Eropa,” ujar Huard.
‘Lagu-lagu Shakespeare’
Merujuk sejumlah fakta tersebut, tidak mengherankan sejumlah kalangan menyebut Dowland sebagai penyanti sekaligus pencipta lagu modern pertama, meski tak semua pihak setuju.
“Dowland harus dipahami melalui konteks yang dimasukkannya ke dalam lagu sehingga seluruh karyanya kita mengerti,” kata Hernandez Roldan.
“Menurut saya, membicarakan Dowland di luar konteks karya-karyanya sangat tidak masuk akal,” ujar Roldan. Ia berkata, menarik garis lurus dari Dowland ke para musikus modern dapat menyebabkan penulisan sejarah yang ranch.
etap saja, meskipun Dowland tidak mengenakan jaket kulit hitam, ekspresi gusar yang dikombinasikannya dengan penampilan sederhana merupakan simbol musik pop modern. Adapun bagi Huard, karya Dowland tidak dapat dibandingkan dengan lagu-lagu hebat ciptaan Shakespeare yang kita senangi.
Jika beberapa sejarawan mungkin ragu-ragu membandingkan karya-karya Dowland dan musik kontemporer, sejumlah musikus justru gemar mengadopsi lagu-lagunya.
Komponis abad ke-20 seperti Benjamin Britten dan Parry Grainger merekonstruksi ulang hasil karya Dowland secara elegan melalui The Dowland Project. Mereka menggabungkan permainan lute khas Dowland dengan musik jazz modern.
Lagu-lagu Dowland dilahirkan kembali ke khasanah pop. Elvis Costello menyanyikan Can She Excuse My Wrongs. Pada 2006 Sting membuat satu album khusus untuk menyanyikan ulang karya Dowland, termasuk lagu berjudul In Darkness Let Me Dwell yang direkamnya di gudang bawah tanah era Tudor.
Dentingan lute John Dowland telah diturunkan ke berbagai generasi musikus Inggris. Pada awal abad ke-20, karya Edward Elgar dinilai gemilang dalam nuansa melankolis yang heroik.
Grup musik Pink Floyd juga merilis lagu penuh halusinasi seperti yang berjudul Time, lagu di mana mereka menyanyikan lirik “terjebak depresi yang sunyi adalah sesuatu yang sangat Inggris”.
Pengaruh Dowland itu semakin menjadi-jadi ketika paham utopia yang dibawa kaum hippie muncul sebelum akhirnya tenggelam. Pada 1976, Joy Division menarik perhatian muda-mudi Inggris.
Satu dekade berikutnya, giliran The Smiths yang menjalankan peran itu. Lagu seperti Please, Please, Please, Let Me Get What I Want dan How Soon Is Now?menjadi simbol kegundahan anak muda.
Dowland mungkin tidak bernyanyi bahwa dia “bergembira di jam-jam yang pas untuk mabuk, tapi surga paham dia sesungguhnya sedih”. Itu adalah petikan lagu Morrissey.
Sebenarnya tidak seluruh musikus yang disebut di atas terinspirasi Dowland secara langsung. Namun ekspresinya yang tanpa malu dan nuansa melankolia yang dibawakannya terbukti bertahan melintasi zaman.
Tapi, mengapa orang-orang Inggris sangat tertarik pada kesedihan? Mungkin ini mengingatkan kita pada berbagai ketidakadilan dalam kehidupan.
Pujangga Inggris berkata, “suatu hari dia adalah orang bodoh yang tidak murung”. Mungkin ketertarikan atas kepedihan itu justru dipengaruhi iklim dan cuaca Inggris.
Seperti yang dikatakan Voltaire, “ini adalah hari-hari kelam di bulan November ketika orang Inggris bunuh diri.”
Apapun jawaban atas pertanyaan tadi, melankolia menjadi identitas nasional Inggris. Sangat memalukan kehilangan musikus sekelas John Dowland yang berkisah tentang “kepedihannya dan menangisi anggurnya yang diracuni.” [BBC]