Banda Aceh – Sekretaris Daerah Aceh, para Asisten dan Staf Ahli dan Kepala SKPA/Kepala Biro di Lingkungan Setda Aceh, menghadiri pengesahan dua Qanun Aceh, di Gedung Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh), Rabu 5 April 2023. Kedua Qanun itu adalah Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe dan Qanun Aceh tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Paripurna itu dipimpin Wakil Ketua DPR Aceh Safaruddin, dan dihadiri Ketua DPR Aceh dan para anggota dewan.
“Menyetujui dua Rancangan Qanun Aceh menjadi Qanun Aceh sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tdak terpisahkan dari keputusan ini, yaitu Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe dan Qanun Aceh tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” kata Suhaimi, Sekretaris DPR Aceh, saat membacakan hasil keputusan dewan.
Sekda Aceh, dalam sambutan PJ Gubernur, mengatakan sebelum disahkan menjadi Qanun, Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang merupakan Rancangan Qanun Prakarsa Pemerintah Aceh dan telah ditetapkan sebagai prioritas pembahasan Tahun 2022 melalui Keputusan DPR Aceh Nomor 17/ DPRA/2021 tentang Penetapan Program Legislasi Aceh Prioritas Tahun 2022.
Qanun ini berlaku selama 30 tahun, yang bertujuan melindungi kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup di Aceh. “Pengaturan dalam Rancangan Qanun ini meliputi kondisi dan indikasi daya dukung dan daya tampung wilayah, permasalahan dan target lingkungan hidup,” kata Bustami.
Rancangan Qanun Aceh itu merupakan Rancangan Qanun kategori Fasilitasi Kementerian Dalam Negeri. Pasca hasil fasilitasi tersebut, Tim Pemerintah Aceh bersama Komisi lV DPRA serta tenaga ahli ahli telah melakukan penyesuaian terhadap Rancangan Qanun tersebut, sehingga terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pihaknya sepakat untuk dilakukan pembahasan ke persetujuan bersama antara DPR Aceh dan Gubernur Aceh pada masa sidang tahun 2023 ini.
Selanjutnya berkenaan dengan Peraturan Wali Nanggroe, sesuai dengan hasil fasilitasi hendaknya bersifat internal. Lembaga Wali Nanggroe dan berlaku untuk penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya, bukan pelaksanaan keistimewaan dan kekhususan Aceh secara menyeluruh, sesuai dengan UUPA.
Menurut Pertimbangan pemerintah Aceh dan rekomendasi tersebut hanya dibatasi untuk pengangkatan Ketua MAA. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2019 tentang Majelis Adat Aceh, yang menyatakan MAA merupakan Lembaga keistimewaan Aceh yang bersifat otonom dan independen serta sebagai mitra pemerintahan Aceh di dalam penyelenggaraan kehidupan adat dan adat istiadat dalam masyarakat yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Wali Nanggroe. []